Pemanfaatan Lahan Marginal, Naungan dan Pasang Surut
Pemanfaatan Lahan Marginal, Naungan dan Pasang Surut
Lahan Marginal
Lahan marginal
dapat diartikan sebagai lahan yang memiliki mutu rendah karena memiliki
beberapa faktor pembatas jika digunakan untuk suatu keperluan tertentu.
Sebenarnya faktor pembatas tersebut dapat diatasi dengan masukan, atau biaya yang
harus dibelanjakan. Tanpa masukan yang berarti budidaya pertanian di lahan
marginal tidak akan memberikan keuntungan.
Ciri-ciri utama lahan marginal adalah:
1) tingkat kesuburannya rendah,
2) erositas tinggi,
3) sering mengalami kekeringan atau kebanjiran,
4) tingkat kemasaman tanah tinggi dan
5) tingkat keracunan tinggi pada kondisi
tertentu.
Persoalan utama
dalam berusahatani di lahan kering (marginal) adalah bagaimana mengelola air
yang menjadi faktor pembatas dalam berusahatani, sehingga produktivitas lahan
dapat ditingkatkan. Selain itu lahan marginal mempunyai keterbatasan seperti
sifat fisik, kimia, dan biologi tanah yang tidak baik, serta topografi lahan
yang kurang mendukung dalam berusahatani.
Untuk meningkatkan
produktivitas lahan marginal ada beberapa cara yang perlu dilakukan seperti :
a. Pemakaian
varietas tanaman unggul,
b. Penerapan
pola tanam yang sesuai dengan curah hujan,
c. Perbaikan
teknik budidaya tanaman,
d.
Serta usaha konservasi lahan sehingga kelestarian lahan dapat dijaga.
Lahan Naungan
Lahan-lahan kosong diantara tanaman perkebunan dan kehutanan yang tidak termanfaatkan merupakan lahan potensial untuk untuk tanaman pangan. Kendala ekologi utama dalam pemanfaatan lahan di bawah tegakan tanaman perkebunan dan kehutanan adalah rendahnya intensitas radiasi surya, sehingga tanaman akan mengalami stres cahaya yang akan berakibatkan pada proses pertumbuhan dan produksi. Adaptasi tanaman terhadap naungan dapat melalui dua cara yaitu: Meningkatkan luas daun sebagai upaya mengurangi penggunaan metabolit Mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan dan direfleksikan. Secara genetik tanaman yang tahan terhadap naungan mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan.
Lahan Pasang Surut
Indonesia memiliki
wilayah pasang surut seluas 20,1 juta ha dan sekira 9,53 juta ha berpotensi
untuk dijadikan lahan pertanian secara umum. Lahan pasang surut berbeda dengan
lahan irigasi atau lahan kering yang sudah dikenal masyarakat. Perbedaannya
menyangkut kesuburan tanah, ketersediaan air dan teknik pengelolaannya.
Pengelolaan tanah dan air ini merupakan kunci keberhasilan usaha tani di lahan
pasang surut.
Kendala lahan
pasang surut:
1)
Kendala fisik (rendahnya kesuburan tanah),
2)
pH tanah dan adanya zat beracun Fe dan Al),
3)
Kendala biologi (hama dan penyakit)
4)
Kendala sosial ekonomi (keterbatasan modal
dan tenaga kerja).
Di wilayah pasang
surut terdapat dua jenis tanah utama, yaitu:
1) Tanah gambut (peat soils)
2) Tanah mineral (mineral soils) jenuh air
Tanah gambut
bervariasi dari dangkal sampai dalam. Tanah gambut yang cocok untuk usaha
pertanian adalah gambut dangkal (50-100 cm). Sedangkan gambut sedang (101-200
cm), gambut dalam (201-300 cm), dan gambut sangat dalam (> 300 cm) lebih
sesuai untuk kehutanan dan wilayah konservasi.
Tanaman pertanian
yang dapat tumbuh di tanah gambut adalah tanaman sayuran, buah-buahan, dan
perkebunan seperti karet, kelapa, dan kelapa sawit. Pada tanah mineral biasa,
ditemukan tanah mineral yang belum matang dan matang. Tanah mineral matang
umumnya sudah mengalami pengolahan lahan atau dibuat saluran-saluran. Pada
tanah mineral ini dijumpai beberapa jenis tipologi lahan, yaitu tanah sulfat
masam potensial, tanah sulfat masam aktual, dan tanah potensial yaitu tanah
yang lapisan piritnya dalam (> 50-> 100 cm). Tanah mineral sangat berpotensi untuk padi sawah, tanaman
palawija, sayuran, dan tanaman tahunan.
catatan kuliah
Komentar
Posting Komentar