POLA TANAM (monokultur dan tumpang sari)

POLA TANAM

Pola tanam adalah upaya pengaturan susunan tata letak dari tanaman dan tata urutan tanaman dengan melaksanakan penanaman pada sebidang lahan selama periode waktu tertentu.

Tanam adalah menempatkan bahan tanam berupa benih atau bibit pada media tanam baik media tanah maupun media bukan tanah dalam suatu bentuk pola tanam.

 

  1. MONOKULTUR

Monokultur adalah cara budidaya di lahan pertanian dengan menanam satu jenis tanaman pada satu areal. Kelebihan monokultur yaitu menjadikan penggunaan lahan efisien karena memungkinkan perawatan dan pemanenan secara cepat dengan bantuan mesin pertanian dan menekan biaya tenaga kerja karena wajah lahan menjadi seragam. Sedangkan kelemahan monokultur adalah keseragaman kultivar mempercepat penyebaran organisme pengganggu tanaman (OPT) seperti hama dan penyakit tanaman. Pertanaman satu lahan tanpa variasi apa pun berakibat hama atau penyakit dapat berkembang dan menyerang tanaman pada periode penanaman berikutnya. Solusinya adalah dengan menerapkan monokultur spasial tetapi lahan ditanami oleh tanaman lain untuk musim tanam berikutnya untuk memutus siklus hidup OPT sekaligus menjaga kesehatan tanah.

 

Sistem pertanian monokultur menghendaki lahan yang memiliki produktivitas setinggi mungkin. Untuk itu dalam sistem pertanian monokultur ditanam jenis  tumbuhan yang lebih produktif misal: menanam padi dengan bulir yang banyak dan berumur pendek. Dengan mengurangi keragaman spesies namun menaikan homogenitas dari jenis tanaman menyebabkan kawasan pertanian monokultur menjadi tidak stabil. Dampak dari hal tersebut adalah praktek bertani masih tergantung pada energi dari luar untuk memelihara kemantapannya. Masuknya energi berlangsung lebih cepat, disertai pembalikan bahan mineral tanah yang terlampau deras, menyebabkan proses kerusakan tanah pertanian tak dapat dihindari lagi.

Pertanian monokultur tidak menghendaki adanya keanekaragaman hayati yang melimpah. Akibat dari hal tersebut adalah kestabilan lahan menjadi rentan. Bukti dari hal tersebut adalah tanah pertanian monokultur harus sering diolah. Hal tersebut dikarenakan pada pertanian monokultur kandungan unsur hara yang tersedia bagi tanaman sangat sedikit. Dalam kaitannya dengan pertanian berkelanjutan, padi sawah yang ditanam secara monokultur belum memenuhi semua prinsip agroekosistem berkelanjutan. Hal tersebut dikarenakan lahan sawah yang ditanami padi secara monokultur belum dapat mengoptimalkan ketersediaan hara. Unsur hara pada pertanian monokultur lebih sering habis dan tidak dapat didaur ulang dikarenakan tanah pertanian monokultur miskin mikroba. Selain itu, ciri dari pertanian monokultur padi lahan sawah adalah ketergantungan terhadap pupuk dari luar. Penggunaan pupuk yang terus menerus dan berlebihan dapat mengakibatkan terjadi proses degradasi tanah yang menjadikan tanah tidak sehat baik secara fisik, kimiawi, maupun biologi.

Pertanian monokultur sering menggunakan bahan kimia berbahaya seperti pestisida yang mengakibatkan spesies yang dianggap merugikan mati. Matinya atau tidak adanya spesies tertentu akan berdampak pada terputusnya jaring-jaring makanan di daerah sawah yang ditanami padi. Terputusnya jaring-jaring makanan mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan ekologi. Selain itu, terputusnya jaring-jaring makanan akan mengakibatkan berkurangnya interaksi biologis yang menguntungkan dan sinergisme atara tanaman dan hewan tertentu. Salah satu strategi pertanian berkelanjutan adalah melakukan rotasi tanaman.  Dalam pertanian monokultur padi sawah, prinsip rotasi tanaman telah dilakukan. Pola tanam yang sering digunakan adalah pergiliran padi dengan tanaman palawija. Adanya pergiliran padi dengan tanaman palawija akan membantu tanah untuk meningkatkan kesuburan tanah (nutrien).

Salah satu ciri pertanian berkelanjutan adalah mencipakan suatu bentuk pertanian yang mempertahankan produktivitas jangka panjang dengan mengoptimalkan sumber daya lokal (tanaman lokal) yang tersedia. Pertanian monokultur termasuk pertanian monokultur padi  jarang sekali menggunakan input alami lokal. Hal  tersebut dikarenakan pertanian monokultur sering diidentikan dengan pertanian industri bertujuan  komersil yang memenuhi kebutuhan dan permintaan  konsumen baik tingkat nasional maupun global. Dengan demikian pertanian monokultur jarang sekali  menanam  dan menggunakan sumber daya lokal  (tanaman lokal).

Ada beberapa penataan pertanaman secara tunggal (monokultur) pada lahan sawah, diantaranya adalah penataan bergiliran secara berurutan dan bergiliran secara berjajar.

      Untuk sistem bergiliran secara berurutan, sistem tersebut dilakukan pada musim hujan, yakni tanah sawah ditanami padi. Sedangkan pada musim kemarau lahan ditanami palawija atau bero tergantung pada keadaan tanah, pengairan, iklim, dan sebagainya.

      Untuk sistem bergiliran secara berjajar atau pararel, sistem tersebut dilakukan dengan mengelola sebidang tanah sawah yang luas dengan cara pada musim hujan seluruh sawah ditanami padi, tetapi pada musim kemarau ada bagian yang dikosongkan, ada yang ditanaman berbagai palawija.


 

  1. TUMPANG SARI

Tumpang sari merupakan upaya menanam beberapa jenis tanaman pada lahan dan waktu yang sama, yang diatur sedemikian rupa. Penanaman dengan cara ini bisa dilakukan pada dua atau lebih jenis tanaman yang relatif seumur, misalnya jagung dan kacang tanah atau bisa juga pada beberapa jenis tanaman yang umurnya berbeda-beda.

Tumpangsari diperkenalkan oleh: Buurman V.  Vreeden pada tahun 1883 di KPH Pemalang, Jawa Tengah sebagai sistem pertanaman tanaman jati. Pada tahun 1907 tanaman sela kemlandingan (leucaena leucocephala) diperkenalkan oleh J. Jaski dan tahun 1920 acacia vilosa diperkenalkan oleh W.  Versluys, sebagai tanaman sela untuk tanah-tanah yang kurang subur dan mendapat tekanan penggembalaan liar yang tinggi.

Untuk dapat melaksanakan pola tanam tumpangsari secara baik perlu diperhatikan beberapa faktor lingkungan yang mempunyai pengaruh diantaranya ketersediaan air, kesuburan tanah, sinar matahari dan hama penyakit. Penentuan jenis tanaman yang akan ditumpangsari dan saat penanaman sebaiknya disesuaikan dengan ketersediaan air yang ada selama pertumbuhan. Hal ini dimaksudkan agar diperoleh pertumbuhan dan produksi secara optimal.

Kesuburan tanah mutlak diperlukan, hal ini dimaksudkan untuk menghindari persiangan (penyerapan hara dan air) pada satu petak lahan antar tanaman. Pada pola tanam tumpangsari sebaiknya dipilih dan dikombinasikan antara tanaman yang mempunyai perakaran relatif dalam dan tanaman yang mempunyai perakaran relatif dangkal.

 

Beberapa keuntungan pada pola tumpangsari antara lain:

·  Akan terjadi peningkatan efisiensi (tenaga kerja, pemanfaatan lahan maupun penyerapan sinar matahari)

·         Biaya tanaman yang relatif rendah

·         Populasi tanaman dapat diatur sesuai yang dikehendaki

·         Dalam satu areal diperoleh produksi lebih dari satu komoditas

·    Tetap mempunyai peluang mendapatkan hasil manakala satu jenis tanaman yang diusahakan gagal

·    Kombinasi beberapa jenis tanaman dapat menciptakan beberapa jenis tanaman dapat menciptakan stabilitas biologis sehingga dapat menekan serangan hama dan penyakit serta mempertahankan kelestarian sumber daya lahan dalam hal ini kesuburan tanah.

·         Dapat menekan pertumbuhan alang-alang dengan menggunakan tanaman sela.

·         Dapat membantu petani tunakisma (tidak berlahan) atau lahannya sangat sempit.



sebuah catatan kuliah

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemanfaatan Lahan Marginal, Naungan dan Pasang Surut

Rotasi dan Penyusunan Pola Tanam